Kementerian Perdagangan (Kemendag) melaporkan Produk waralaba dalam negeri makin diapresiasi pasar dunia.
Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor, Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN), Ari Satria mengatakan salah satunya waralaba makanan cepat saji, Baba Rafi Indonesia yang diminati Sejumlah mitra bisnis di Amerika Serikat (AS).
"Warisan kuliner bangsa ini luar biasa dan sangat beragam. Saatnya waralaba Indonesia merajai pasar dunia," ujar Ari Satria, Di Kementerian Perdagangan Jakarta, Rabu (6/8/2014).
Ia menyebutkan produk-produk berkualitaa Indonesia yang diminati oleh masyarakan AS adalah mi instan, cokelat, kakao. "Masyarakat Amerika dan terutama pasar luar negeri menantikan terobosan baru dalam mengolah produk kuliner dan produk makanan ringan lainnya. Kita harus lebih kreatif karena pasar Amerika terbuka lebar," katanya.
Kemendag melakukan misi dagang sebagai bagian penting dalam upaya memasarkan produk-produk dalam negeri ke dunia internasional. Hasilnya selalu positif.
Produk makanan rendang dan nasi goreng bahkan telah menjadi ikon produk makanan Indonesia di tingkat internasional sebagai makanan paling lezat.
Mayoritas pelaku waralaba mengabaikan aturan yang mewajibkan pendaftaran. Buktinya, meski aturan kewajiban pendaftaran termuat dalam PP No 42 Tahun 2007, baru 1 persen dari seluruh waralaba yang terdaftar resmi di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Ketua Komite Nasional Waralaba dan Lisensi Kadin Amir Karamoy menyatakan, jumlah waralaba di Indonesia saat ini mencapai 2.100 merek dan 400 di antaranya adalah merek asing. Namun, dari jumlah tersebut, jumlah waralaba yang memiliki surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) sangat sedikit. ’’Baru sekitar 1 persen yang punya STPW. Masih banyak yang belum terdaftar,’’ ujar Amir Rabu (21/8).
Menurut dia, dari sekitar 210 waralaba yang sudah mengantongi STPW, mayoritas merupakan waralaba asing. Pihaknya menyesalkan banyak waralaba lokal yang justru belum memiliki STPW. ’’Dari total yang sudah punya STPW, waralaba asing ada 180 merek, sedangkan waralaba lokal sekitar 30 merek. Jadi, perbandingannya 80:20. Banyak asing yang malah terdaftar di pemerintah,’’ ketusnya.
Namun, Amir sadar bahwa minimnya waralaba lokal yang terdaftar disebabkan aturan untuk mendapat STPW sangat ketat. Misalnya, perusahaan waralaba yang sudah memperoleh STPW harus memublikasikan laporan keuangan, bersedia diaudit oleh akuntan publik, dan sebagainya. ’’Waralaba lokal yang kecil-kecil tentu merasa kesulitan mengurusi yang seperti itu. Ujung-ujungnya, mereka malas mendaftar ke pemerintah,’’ tukasnya.
Karena itu, pihaknya mendorong pemerintah merevisi syarat mendapat STPW. Dengan begitu, banyak waralaba yang mendaftar sehingga perlindungan hukuman bagi pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee) dapat terjamin. Apalagi STPW diwajibkan dalam PP No 42/2007 tentang Waralaba. ’’Satu-satunya jalan, syarat yang berat untuk mendapat STPW harus dievaluasi,’’ tuturnya.
Di sisi lain, pihaknya mendorong pemerintah memberikan insentif bagi usaha waralaba supaya lebih berkembang. Dukungan dari pemerintah diperlukan agar usaha waralaba makin banyak peminat. Sebab, waralaba merupakan usaha yang mudah masuk ke masyarakat. ’’Saya kira perlu insentif seperti kemudahan dalam mengakses kredit perbankan supaya banyak yang bisa masuk ke sektor ini,’’ sarannya.
Selain kemudahan perkreditan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia SDM) waralaba terkait dengan manajemen bisnis dan keterampilan dalam membuat produk yang berkualitas. ’’Pelatihan-pelatihan juga perlu dilakukan untuk mendukung pengembangan usaha mereka. Kementerian Perdagangan sudah melakukan itu, tetapi belum intens. Saya harap instansi lain juga melakukan,’’ jelasnya.