Waralaba lokal -Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) menyatakan ketidaksiapan pengusaha waralaba Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas ASEAN melalui ASEAN Economic Community (AEC). Mengingat masih minimnya pertumbuhan dan pengetahuan informasi pengusaha waralaba serta dukungan dari pemerintah.
“Masih sangat kurang dukungan dan informasi. Lihat saja dari masih sedikitnya pewaralaba yang mendaftarkan usahanya lewat STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba),” jelas Emir Pohan, Sekretaris Jenderal WALI, kepada KONTAN, Rabu (20/8).
Menurut keterangan Emir, hingga saat ini baru terdapat 196 pengusaha waralaba, dengan catatan pengusaha ini yang sudah mendaftar dan memiliki STPW. “Dari yang mendaftar ini terlihat perkembangan yang kecil. Pertumbuhan waralaba di Indonesia hanya meningkat rata-rata 3% setiap tahunnya. Jadi angkanya masih sangat kecil,” kata Emir.
Dari waralaba yang ada sektor makanan dan minuman serta ritel mendominasi. “Ya alasannya jelas ya, makanan dan minuman kan kebutuhan pokok selagi enak dan sesuai selera masyarakat Indonesia sektor ini akan terus bertumbuh dan tetap menjadi yang paling laku. Sedangkan sektor ritel sangat terbantu dari gerai-gerai seperti sebut saja Alfamart dan Indomaret yang menjamur. Ini menjadi penopang yang kuat,” tambah Emir.
Kecilnya pertumbuhan waralaba lokal Iini juga yang berdampak pada proporsi pengusaha waralaba lokal dan asing. Menurut keterangan Amir Karamoy, Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Kamar Dagang Indonesia, bahwa saat ini waralaba asing mendominasi pasar Indonesia dengan komposisi asing 80% dan lokal 20%.
Dalam menghadapi era perdagangan bebas yang sudah di depan mata ini masih banyak faktor yang lemah seperti kurangan dukungan dan informasi. “Hal dasar ya dukungan dan informasi. Jika tidak ada bimbingan dan dukungan dari pemerintah maka akan sulit untuk waralaba berkembang. Jangan kan untuk ke pasar asing, di lokal saja pasti sulit. Begitu juga dengan informasi selagi masih berpikiran untuk dalam kadar ukm saja walaupun sudah untung besar maka waralaba tidak akan berkembang. Karena kebanyakan begitu di Indonesia,” kata Emir.
Menurut Emir ini sudah menjadi tugas pemerintah untuk membimbing waralaba agar siap di tahun depan. Maka WALI sebagai perhimpunan terus menyiapkan anggota dengan informasi-informasi yang ada serta mendesak pemerintah untuk bergerak lebih aktif. “Bandingkan saja sama Filipina atau Malaysia yang ketika sedang ingin ekspansi waralaba ke luar mereka pasti membawa serta pihak perwakilan pemerintah dan legal sebagai pembimbing. Berbeda dengan kita yang kebanyakan jalan sendiri,” jelas Emir.
Maka momentum era perdagangan bebas ini seharusnya menjadikan pewaralaba Indonesia tidak hanya mampu bertahan tapi juga menyerang baik domestik maupun internasional. Selain itu tantangan lainnya di era perdagangan bebas nanti adalah sifat pasar Indonesia yang masih lebih tertarik pada hal berbau luar negeri. “Nantinya ketika tarif sudah disamaratakan maka asing akan banyak masuk dan kemungkinan besar akan banyak mengisi pos-pos pasar di Indonesia. Yang mana jika pewaralaba kita tidak mampu bersaing maka pewaralaba asing akan berjaya di pasar ditambah dengan ketertarikan yang tinggi dari pasar itu sendiri,” jelas Emir.
Perubahan pola pikir pengusaha waralaba lewat informasi dari pemerintah sangat dibutuhkan. Menurut Emir hingga saat ini banyak pengusaha Indonesia yang sudah puas dengan perkembangan usahanya yang masih dalam taraf UKM padahal jika dikembangkan memiliki potensi yang besar. “Mindset yang seperti ini harus segera diubah dan informasi sebanyak-banyaknya lewat pemerintah adalah solusinya,” katanya.